Belajar Mencintai Indonesia

Bagikan sekarang

Oleh Rijal Mumazziq Z (Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah [INAIFAS] Kencong Jember)

“Kalau negara lain menge­muka­kan kemakmuran dan kemerdekaan (prosperity and liberty) seba­gai tujuan, maka negara kita lebih menekankan prinsip keadil­an daripada prinsip kemerdekaan itu.”

(KH. Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, hlm. 168)

            Ketika memproklamasikan kemerdekaan, 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa mencita-citakan sebuah negara yang selain bebas dari penjajahan, juga memiliki asas ketaatan terhadap hukum, menjamin kemerdekaan beragama, berserikat, dan berpendapat, serta berdaulat secara ekonomi, politik, pertahanan. Konsep kedaulatan ini dituangkan dalam pasal-pasal UUD 1945.

            Hanya saja, tidak semudah itu menegakkan cita-cita mulia ini. Banyak hambatan yang dialami. Baik karena faktor eksternal, maupun internal. Perlu usaha sungguh-sungguh agar ide visioner itu tidak hanya menjadi tulisan di atas kertas saja.

            Ketika membicarakan kemerdekaan Indonesia, maka ada dua hal yang pantas kita cermati. Pertama, kemerdekaan ini ada karena jerih payah pendahulu kita, lintas suku dan etnis, serta lintas agama. Mereka menihilkan sekat perbedaan, mengupayakan persatuan untuk menyongsong kemerdekaan, dan mewariskan hal berharga ini kepada kita. Kedua, kita memang tidak ikut berjuang secara fisik pada saat negara ini didirikan, maka menjadi kewajiban bagi kita mempertahankannya serta mengisinya agar cita-cita para pendiri bangsa dan para pejuang bisa diwujudkan. Mencintai Indonesia tidak membutuhkan dalil. Karena ini perkara asasi. Kalaupun ada yang menanyakan dalilnya, kita jawab, dalilnya sudah berulang kali disebutkan di dalam QS.Ar-Rahman, yaitu Fabiayyi ala-I Rabbikuma Tukadzdziban? Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Kemerdekaan adalah sebuah nikmat dari Allah. Anugerah dari-Nya yang selain wajib kita syukuri, juga kita isi dengan aktivitas yang bermanfaat, agar kita tidak menjadi hamba-Nya yang kufur nikmat.

            Berbicara soal tujuan kemerdekaan dan aktivitas mengisinya, menarik apabila dalam hal ini kita menengok doa Nabiyullah Ibrahim alaihissalam yang diabadikan oleh Allah di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 126:

وَ إِذْ قالَ إِبْراهيمُ‏ رَبِّ اجْعَلْ هذا بَلَداً آمِناً وَ ارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَراتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ قالَ وَ مَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَليلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلى‏ عَذابِ النَّارِ وَ بِئْسَ الْمَصير

Dan( ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman:” Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”

Doa yang hampir sama dimunajatkan oleh Nabi Ibrahim alaihissalam di dalam QS. Ibrahim [14]: 35:

وَإِذْ قالَ إِبْراهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنامَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.”

Ada satu aspek menarik yang pantas kita cermati dalam doa di atas. Yaitu Nabi Ibrahim  mendahulukan doa untuk keamanan negerinya, lantas disambung dengan kemakmuran penduduknya, kemudian dilanjutkan dengan permohonan agar Allah meneguhkan keimanan penduduknya, beserta anak cucu beliau.

Dalam Tafsir Jalalain, Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan apabila doa ini dikabulkan oleh Allah dengan menjaga negeri Nabi Ibrahim alaihissalam, yaitu Makkah, sebagai sebuah tanah yang suci, yang tiada seorang-pun boleh dianiaya apalagi ditumpahkan darah di dalamnya, tiada satupun hewan yang boleh diburu, apalagi dirusak alamnya. Syihabuddin Al-Alusi, dalam Ruh al-Ma’ani, juga menandaskan, doa utama Nabi Ibrahim alaihissalam mengandung dua prioritas, keamanan dan kesejahteraan penduduknya.

            Ayat di atas juga menjadi bukti apabila para Rasul senantiasa mencintai tanah airnya. Sebagaimana Makkah yang berbarakah lantaran doa Nabi Ibrahim, Madinah al-Munawwarah juga dinaungi keberkahan lantaran doa Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Maka tidak heran jika hingga saat ini pun para ulama juga mengikuti langkah keduanya, yaitu senantiasa mendoakan keberkahan tanah airnya. Dalam setiap khutbah kedua menjelang shalat Jumat, selalu diselipkan doa bagi Indonesia dan bagi negeri muslim lainnya. Lagipula, di Indonesia, semakin sepuh usia seorang ulama, semakin sering beliau-beliau menyampaikan ceramah pentingnya mencintai Islam sekaligus mencintai Indonesia. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Islam adalah ruh, Indonesia adalah jasad. Saling menopang. Setidaknya ini bisa kita cermati dalam ceramah almaghfurlah KH. Maimoen Zubair, KH. A. Mustofa Bisri, KH. Miftachul Akhyar, KH. A. Mustofa Bisri, dan ulama lain.

***

Dalam konteks kemerdekaan Indonesia, maka kita bersyukur apabila selama ini keamanan dan ketertiban negeri ini bisa dijalankan dengan baik, walaupun tentu saja masih ada kekurangan di sana sini. Ketika sebuah negara memiliki keamanan yang stabil, maka penduduknya bisa meningkatkan kesejahteraan ekonominya, menyalurkan aspirasi politiknya dengan baik, dan bisa menikmati akses pendidikan dengan baik pula.

            Aspek stabilitas keamanan ini belum kita jumpai di beberapa negara muslim di kawasan lain. Di Afganistan, Suriah, dan Libya, ketika terjebak perang saudara, maka fokus penduduknya tidak lagi pada peningkatan kesejahteraan, melainkan pada mempertahankan diri dan pemulihan keamanan. Anak-anak tidak lagi mendapatkan akses pendidikan yang layak, orangtua juga tidak bisa meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Sebab, selain kekhawatiran menjadi korban kekerasan bersenjata, mereka merasa tidak aman. Jika sudah tidak merasa aman, maka pikiran juga tidak tenang. Jika pikiran kalut, maka bagaimana bisa diharapkan bisa nyaman di dalam belajar dan menjalani kehidupan.

            Di sinilah pentingnya kita menikmati kemerdekaan. Memang, tidak ada negara yang secara ideal bisa menyelenggarakan cita-cita mereka, namun secara lebih realistis Indonesia bisa memiliki tiga ciri sebuah negara damai: kemerdekaan berserikat dan berpendapat, akses pendidikan bagi penduduknya, dan peningkatan kualitas ekonomi warganya.

Diabadikannya doa Nabi Ibrahim alaihissalam di dalam dua ayat di atas, menjadi ibrah bagi kita, betapa pentingnya menjaga keamanan dan ketentraman sebuah negeri. Jangan sampai penduduknya saling bermusuhan, jangan lagi ada upaya memecah belah bangsa ini, dan kita berharap apabila setelah keamanan ini terpenuhi, maka Indonesia bisa menjadi sebuah negara sejahtera, sebagaimana indikator dalam doa Nabi Ibrahim alaihissalam di atas.

Kesejahteraan sebuah negara, antara lain, bisa dilihat dalam indeks kualitas sumberdaya manusianya dan income perkapita. Saat ini, tingkat pendidikan warga Indonesia semakin naik. Akses meraih beasiswa semakin variatif. Walaupun kue kesejahteraan masih dinikmati sebagian orang superkaya di Indonesia, namun kita bersyukur apabila peluang peningkatan kesejahteraan ekonomi bisa lebih terbuka saat ini. Hal ini bisa dilihat melalui semakin variatifnya cara “nggolek duwit” setelah merebaknya media sosial. Saat ini, anak-anak muda tidak lagi terpaku pada pekerjaan formal, melainkan lebih terbuka pada kerja kreatif yang cerdas. Menjadi vlogger, desainer freelance, youtuber, hingga pebisnis daring. Generasi ini tidak lagi “diatur oleh jadwal”, melainkan “membuat jadwal tersendiri”, tidak lagi menjadi karyawan bagi orang lain, melainkan menjadi majikan bagi diri sendiri. Lebih kreatif, inovatif, dan independen. Dulu, untuk mencapai derajat kemakmuran ekonomi, setidaknya minimal usia 30 tahun. Namun, saat ini bisa kita lihat anak-anak muda kreatif ini bisa mengembangkan bisnisnya sesuai dengan minat dan talentanya. Mereka menjadi tajir bahkan di bawah usia 30 tahun. Dulu, ibu rumahtangga tidak memiliki aktivitas sampingan. Namun hingga kini marketplace yang bervariasi rata-rata digerakkan oleh ibu-ibu muda yang bisa mengembangkan bisnisnya secara daring.

Saat ini, memang tidak perlu terjebak pada romantisme historis, melainkan pada upaya mengisi kemerdekaan Indonesia dengan baik. Yang sudah ada, kita pertahankan. Yang belum beres, kita perbaiki. Yang belum terealisasi, kita wujudkan. Yang sudah mapan, tidak usah dibongkar. Hanya dengan cara ini kita bisa membantu membumikan doa Nabi Ibrahim alaihissalam di tanah air tercinta, stabilitas keamanan, kesejahteraan yang membaik, dan iman penduduknya yang kokoh. Dengan cara ini, sebagaimana kata Gus Dur di awal tulisan ini, keadil­an bisa diwujudkan.

Kalaupun saat ini ada keluhan dan cacimaki atas kondisi Indonesia yang ironisnya dilontarkan oleh warganya, yang hanya berpikiran negatif atas tanah airnya, maka saya teringat dengan kalimat yang dilontarkan KH. Chamim Djazuli (Gus Miek) kepada Gus Dur, pada suatu ketika, “…Indonesia masih baik-baik saja, Gus. Yang belum baik itu, saya dan anda….”

Wallahu A’lam Bisshawab

Dirgahayu, Indonesia-Ku!

“Artikel ini telah dimuat di Majalah Madrasatul Qur’an Times Tebuireng, edisi Juli-September 2021”

Scroll to Top